Poin yang dibahas
Saya pernah beberapa kali bepergian ke Bali. Begitu juga Anda, mungkin. Kita datang untuk melihat pura, menikmati pantai, dan merasakan denyut spiritual pulau ini. Tapi, pernahkah Anda benar-benar berhenti dan melihat ke dalam, jauh melampaui hiruk pikuk Kuta atau kemewahan Seminyak?
Di utara, di daerah yang lebih tenang dan sering terabaikan, di Buleleng, ada kisah yang akan membuat Anda berpikir ulang tentang apa itu “dampak” sejati. Ini bukan cerita tentang turis, melainkan tentang I Made Aditiasthana, seorang perawat yang mengubah penderitaan menjadi gerakan, dan sampah plastik menjadi martabat.
I Made Aditiasthana, yang akrab disapa Adit, adalah orang yang rendah hati, dengan pandangan mata yang tajam dan tulus. Ia lulusan Universitas Udayana, seorang ahli dalam perawatan luka diabetes. Jika Anda pernah melihat luka diabetes yang tidak tertangani, Anda tahu betapa mengerikannya itu. Itu adalah kondisi yang bisa merenggut jari, kaki, dan sering kali, semangat hidup seseorang.

Di Singaraja, tempat Adit memilih untuk mengabdikan diri, ia berhadapan dengan realitas yang brutal: kemiskinan dan penyakit yang berjalan beriringan. Pasiennya adalah nelayan, buruh, dan petani. Mereka datang dengan luka yang membusuk, bukan karena lalai, tetapi karena ketiadaan biaya dan akses ke perawatan yang layak.
Adit ingat betul momen-momen tawar-menawar yang memilukan. “Proses tawar-menawar ini kadang terasa berat sekali bagi saya,” katanya. “Ini dalam kondisi orang sakit dan saat kita kunjungi ke rumahnya, kita akan melihat situasi pasien secara menyeluruh. Mulai dari rumahnya seperti apa, keluarganya, pekerjaannya.”
Melihat pasiennya harus memilih antara membeli beras atau mengobati luka, Adit tahu ia tidak bisa hanya menjadi perawat biasa. Ia harus menjadi pemecah masalah.
Ketika Perban Saja Tidak Cukup: Lahirnya YKKS
Panggilan hati itu, didorong oleh kondisi pasien yang kian terpuruk, akhirnya mengkristal pada tahun 2019. Adit mendirikan Yayasan Kaki Kita Sukasada (YKKS) di Buleleng.
YKKS didirikan dengan satu janji: perawatan luka bagi siapa saja, terlepas dari kemampuan finansial mereka.
Sejak 2014, Adit sudah mulai merawat pasien. Sampai hari ini, faktanya luar biasa: 40 hingga 60 persen pasien yang ditangani YKKS adalah pasien sosial. Mereka dirawat seikhlasnya, bahkan gratis.
Tentu, ini adalah aksi kemanusiaan yang mulia, tetapi mari kita jujur: kebaikan itu butuh biaya. Bagaimana cara YKKS bertahan dengan mayoritas pasien yang tidak membayar?
Di sinilah kisah Adit berubah dari sekadar kisah pengabdian menjadi kisah inovasi yang brilian.
Ia melihat ke luar jendela. Ia melihat masalah besar lain yang menghantui Bali, khususnya Buleleng: sampah plastik.

Melawan Keputusasaan dengan Daur Ulang
Titik balik datang di tengah badai pandemi Covid-19. Saat Bali lumpuh dan donasi mengering, Adit dan rekannya, Beni Ariadi, menyatukan otak. Mereka memutuskan untuk membuat sebuah unit usaha mandiri yang bisa membiayai misi sosial YKKS, dan pada saat yang sama, mengatasi masalah sampah.
Maka, lahirlah KarFa (Karya Difabel dan untuk Difabel).
Konsepnya? Mengubah limbah plastik yang menumpuk menjadi produk bernilai jual tinggi, terutama kaki palsu.
Coba Anda pikirkan logika cemerlangnya:
- Pasien diabetes mengalami amputasi karena terlambat diobati (masalah kesehatan).
- Pasien yang diamputasi tidak mampu membeli kaki palsu (masalah ekonomi).
- Bali tenggelam dalam sampah plastik (masalah lingkungan).
Adit menyambungkan ketiga titik tersebut. KarFa mulai memproduksi kaki palsu dari plastik daur ulang. Harganya? Hanya Rp1 juta hingga Rp1,5 juta—jauh lebih murah dibandingkan kaki palsu resin-fiber konvensional yang bisa mencapai Rp6 juta ke atas.
Ini bukan sekadar penghematan uang; ini adalah hadiah mobilitas bagi mereka yang nyaris kehilangan segalanya.
Ambil contoh Made Sumanasa, seorang nelayan berusia 64 tahun dari Kubutambahan. Diabetes merenggut setengah dari kaki kanannya. Trauma psikologisnya parah. Adit tidak hanya merawat lukanya, ia juga mencarikan dana, dan akhirnya, memberikan kaki palsu dari plastik daur ulang KarFa. Sumanasa kini bisa kembali berjalan, kembali melaut. Kehidupannya pulih, semua berkat sampah yang disulap menjadi harapan.
Pemberdayaan: Tangan-Tangan Penyembuh Baru
Jika berhenti di situ, kisah ini sudah luar biasa. Tapi Adit membawa gerakan ini selangkah lebih jauh: pemberdayaan penyandang disabilitas.
Siapa yang dipekerjakan KarFa? Para penyandang disabilitas sendiri.
Adit dan timnya sadar betul, amputasi bukan hanya kehilangan fisik. Itu adalah pukulan telak pada mental dan martabat. Masyarakat sering kali mencoret mereka dari daftar pekerja. KarFa membalikkan narasi itu.
“Di yayasan ini, kami tidak hanya membalut luka. Kami membalut harapan mereka agar bisa melangkah lagi,” kata Adit.
Penyandang disabilitas yang sebelumnya sulit terserap di dunia kerja, kini menjadi produsen. Mereka mengolah sampah, mencetak produk, dan yang paling heroik, mereka membuat kaki palsu untuk sesama penyandang disabilitas.
Bayangkan kekuatan emosionalnya! Orang yang memahami betul bagaimana rasanya kehilangan kaki, kini menciptakan alat yang memungkinkan orang lain berjalan kembali. Ini adalah pemberdayaan dalam bentuknya yang paling murni dan paling berdampak. Mereka bertransformasi dari penerima bantuan menjadi pemberi harapan.
KarFa bukan hanya tentang kaki palsu. Mereka juga membuat meja, kursi, kacamata, dan karya seni siluet dari plastik bekas. Ini adalah bisnis yang sustainable dan profitable. Saat pariwisata Bali terpuruk, KarFa justru sibuk. Hotel-hotel yang melakukan renovasi menjadi target pasar, membeli perabotan dari sampah daur ulang. Produk mereka bahkan menembus ekspor ke Jepang dan Australia.
Keuntungan dari penjualan produk-produk daur ulang ini, kata Adit, dialokasikan untuk membiayai tiga pilar YKKS: perawatan luka gratis, pembuatan kaki palsu murah, dan pemberdayaan disabilitas. Ini adalah lingkaran kebaikan yang berputar tanpa henti, didorong oleh sampah.

Menyatukan Gerak, Menjamin Dampak
Aditiasthana telah menciptakan sebuah model yang harus dicontoh. Ia telah menyatukan tiga sektor krusial yang sering berjalan sendiri-sendiri: kesehatan, lingkungan, dan sosial.
- Gerak Kesehatan: Merawat ribuan luka diabetes, mencegah amputasi.
- Gerak Lingkungan: Mengubah limbah plastik yang mencemari Buleleng menjadi bahan baku.
- Gerak Sosial: Memberikan pekerjaan, martabat, dan mobilitas bagi penyandang disabilitas.
Semua berpusat pada satu tema: Satukan Gerak, Terus Berdampak.
Dedikasi ini tidak luput dari perhatian. Aditiasthana menerima penghargaan bergengsi SATU Indonesia Award 2024. Pengakuan ini adalah validasi bahwa pengabdian tulus, meskipun dimulai dari klinik kecil di Buleleng, bisa membawa dampak besar, tidak hanya di Bali, tetapi menginspirasi seluruh nusantara.
YKKS, yang berawal dari niat seorang perawat untuk membantu pasiennya berjalan lagi, kini menjadi mercusuar harapan. Sejak 2019, YKKS telah membantu setidaknya 24 pasien mendapatkan kaki palsu di wilayah Buleleng. Lebih dari itu, mereka telah memulihkan martabat puluhan penyandang disabilitas.
Kisah Adit adalah tamparan halus bagi kita semua. Sering kali, kita merasa masalah terlalu besar—kemiskinan, sampah, diskriminasi. Adit menunjukkan bahwa perubahan dimulai dari satu hal yang kita kuasai. Dia menguasai perawatan luka. Dia melihat masalah sampah. Dia melihat potensi di balik disabilitas. Dia menyatukan semuanya.
Ia bukan seorang politisi atau konglomerat. Ia hanyalah seorang perawat dari Buleleng yang menolak untuk menerima keputusasaan sebagai takdir.
Jadi, saat Anda meninggalkan pulau Dewata berikutnya, atau saat Anda melihat botol plastik bekas di keranjang sampah, ingatlah I Made Aditiasthana. Ia adalah bukti hidup bahwa dengan sedikit empati dan banyak kreativitas, kita bisa mengubah apa yang dibuang—baik itu sampah plastik atau penyandang disabilitas—menjadi sumber kehidupan, harapan, dan martabat.
Ia telah menyembuhkan luka dan menanamkan asa. Dan gerakan itu, akan terus berdampak.
#APA2025-ODOP/PLM/BLOGSPEDIA