Poin yang dibahas
Pernah nggak sih kamu ngalamin momen yang bikin kamu mikir, “Lho, ini udah pernah kejadian deh”—padahal situasinya baru, orang-orangnya baru, bahkan tempatnya juga belum pernah kamu kunjungi? Rasanya aneh, kayak potongan masa lalu nyelip di momen sekarang. Nah, itulah yang disebut dejavu.
Setiap kali itu kejadian, jujur aja, saya suka mikir: ini otak lagi ngerjain saya atau gimana?
Bayangkan kamu lagi nongkrong santai. Tiba-tiba ada satu gerakan, satu kalimat, atau suasana tertentu yang bikin kamu merasa, “Eh, ini familiar banget.” Padahal kamu tahu pasti itu baru pertama kali. Otomatis muncul pertanyaan iseng: Jangan-jangan saya punya indra keenam? Bisa lihat masa depan?
Tenang. Kamu nggak sendirian.
Fenomena ini bukan hal baru. Para ilmuwan—dari psikolog, ahli saraf, sampai filsuf—sudah lama meneliti dejavu. Tapi sampai sekarang, belum ada satu penjelasan yang benar-benar mutlak. Yang pasti, ini bukan hal mistis. Dejavu adalah efek samping dari sistem otak kita yang luar biasa kompleks.
Otak Salah Taruh Memori
Otak manusia menyimpan informasi dalam dua jalur utama: memori jangka pendek dan jangka panjang. Kadang, informasi yang seharusnya masuk ke jangka pendek malah salah tempat ke jangka panjang. Akibatnya, ketika kamu mengalami suatu kejadian, otak kamu bilang, “Ini udah pernah terjadi,” padahal baru saja terjadi.
Ini mirip seperti kamu lupa naruh kunci, terus merasa pernah nyari di tempat yang sama sebelumnya. Otaknya canggih, tapi tetap bisa salah rute.
Delay yang Menipu
Ada juga teori soal keterlambatan proses. Mata kamu menangkap informasi, lalu mengirimkannya ke otak lewat dua jalur. Kalau salah satu jalur lebih cepat nyampai daripada yang lain, maka saat info dari jalur kedua tiba, otak kamu udah merasa, “Ini familiar.”
Ibarat nonton video YouTube tapi koneksi lemot—suaranya jalan duluan, gambarnya belakangan. Tapi dua-duanya bicara soal hal yang sama. Nah, otak kita juga kadang begitu.
Suasana, Rasa, dan Memori Lama
Dari sisi psikologi, dejavu bisa muncul karena otak mencoba menghubungkan momen sekarang dengan sesuatu yang mirip dari masa lalu. Bukan berarti kamu pernah mengalami kejadian itu, tapi mungkin aromanya, arah angin, warna cahaya, atau emosi yang kamu rasakan saat itu mirip banget dengan memori lama yang pernah kamu alami.
Contohnya: waktu kecil kamu pernah duduk di taman tertentu. Bertahun-tahun kemudian, kamu duduk di taman lain yang secara nggak sadar punya suasana serupa. Otak kamu langsung menghubungkan keduanya. Kamu merasa, “Ini pernah deh,” padahal nggak ada ingatan jelas tentang momen yang lama itu.
Kenapa Anak Muda Lebih Sering Mengalaminya?
Dejavu paling sering dialami oleh mereka yang berusia 15–30 tahun. Kenapa? Karena di usia itu, otak masih aktif-aktifnya membentuk dan mengolah memori baru. Sistem ingatan terus update, terus proses banyak hal. Dan saat sistemnya sibuk, kemungkinan salah sambung atau tumpang tindih jadi lebih tinggi.
Semakin bertambah usia, otak jadi lebih efisien, dan frekuensi dejavu cenderung menurun.
Kenapa Kita Begitu Terpaku?
Kenapa ya dejavu bisa terasa begitu penting?
Mungkin karena pada dasarnya manusia itu makhluk yang penuh rasa ingin tahu. Kita ingin semuanya masuk akal. Dan ketika muncul sesuatu yang bikin kita bingung, kita langsung cari makna. Dejavu sering muncul pas momen-momen penting, dan kita mulai berpikir, “Apa ini pertanda?”
Padahal bisa jadi, itu cuma otak kita yang lagi ngasih sinyal: “Perhatiin deh momen ini.”
Saya sendiri pernah ngalami dejavu pas lagi ngobrol serius sama sahabat. Tiba-tiba semuanya terasa familiar. Bukan karena pernah terjadi, tapi karena saya merasa aman, nyaman, dan jujur. Mungkin otak saya pernah menyimpan momen serupa sebelumnya, dan sekarang muncul sebagai penguat.
Dejavu = Cermin Diri?
Dari semua teori tadi, satu hal yang jelas: ingatan kita nggak selalu bisa dipercaya sepenuhnya. Kita bisa yakin banget pernah ngalamin sesuatu, padahal itu cuma ilusi. Atau sebaliknya, kita mengira sesuatu nggak penting, padahal ternyata terekam kuat di dalam.
Itu bikin saya mikir ulang. Seberapa banyak trauma atau kenangan bahagia yang saya punya itu benar-benar seperti yang saya ingat? Jangan-jangan ada bagian yang dibesar-besarkan atau dikaburkan oleh emosi dan persepsi?
Belajar tentang dejavu bukan cuma soal keanehan kerja otak. Tapi juga tentang belajar memahami cara kita berpikir, seberapa besar perasaan bisa memengaruhi logika, dan kenapa penting tetap terbuka dengan penjelasan ilmiah tanpa menolak pengalaman pribadi.
Jadi, kalau suatu hari kamu mengalami dejavu, jangan buru-buru bilang itu hal mistis. Tapi juga jangan remehkan. Bisa jadi itu cuma glitch kecil dari sistem otak yang sangat kompleks. Atau mungkin, itu cara otak kamu bilang, “Eh, perhatiin momen ini, ini penting.”
Dan kadang, dari situ, kamu bisa makin kenal siapa diri kamu sebenarnya.
Merasa hidupmu terlalu sibuk dan nggak seimbang?
Cari tahu cara menjaga batas antara pekerjaan dan kehidupan pribadi!
Baca selengkapnya di sini: Work-Life Balance: Kunci Hidup Seimbang
Reverensi